Desa Penadaran merupakan salah satu desa yang terletak di Kabupaten Grobogan. Secara administratif desa ini berada dalam wilayah Kecamatan Gubug. Sejarah awal mula terbentuknya permukiman hingga berkembang menjadi sebuah wilayah desa dan terbentuknya pemerintahan desa diperkirakan terjadi pada masa pemerintahan Hindia-Belanda (1800-1942).
Dalam catatan sejarah desa disebutkan bahwa awal mula keberadaan Desa Penadaran berkaitan erat dengan tokoh bernama Mbah Karjo Redjo yang merupakan seorang pelarian pada masa Pemerintahan Hindia-Belanda. Ia diyakini sebagai orang pertama yang membuka kawasan hutan untuk dijadikan permukiman dan lahan pertanian (tegalan). Tindakan ini kemudian diikuti oleh sejumlah pendatang lainnya yaitu Mbah Moro Djojo, Mbah Karto Tariman, Mbah Rantiyo (Mbah Jenggot), Mbah Sundel (Mbah Bunder) dan Mbah Henthong. Dalam pelarian dan persembunyian, mereka bernazar bahwa apabila berhasil selamat dari pengejaran maka mereka akan mengadakan Selamatan. Setelah selamat, nazar pun ditunaikan.
Histori peristiwa tersebut kemudian berkembang menjadi penamaan suatu wilayah yang selanjutnya berkembang menjadi nama sebuah desa yaitu Desa Penadaran. Secara etimologis, kata Penadaran berasal dari kata nazar (bahasa Arab) yang berarti janji untuk melaksanakan sesuatu apabila suatu keinginan terkabul. Kata tersebut kemudian mengalami proses pelokalan dan penyesuaian dengan logat bahasa Jawa serta pembentukan morfologis melalui penambahan awalan pe- dan akhiran -an sehingga terbentuklah kata Penadaran.
Peristiwa pengejaran tersebut diperkirakan terjadi dalam rentang waktu antara tahun 1830 hingga 1870. Perkiraan ini didasarkan pada konteks sejarah terjadinya perpindahan penduduk sebagai dampak dari penerapan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) oleh Pemerintah Hindia-Belanda di Pulau Jawa.
Penerapan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) digagas oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada masa Pemerintahan Hindia-Belanda dan diberlakukan tahun 1830-1870. Sistem ini berdampak pada terjadinya perpindahan penduduk secara besar-besaran sebagai upaya untuk mempertahankan keberlangsungan hidup. Dalam rentang waktu tersebut, penduduk di wilayah Karesidenan Semarang seperti Kabupaten Demak, Grobogan, dan Semarang banyak melakukan perpindahan ke berbagai daerah.
Perpindahan ini dipicu oleh berbagai faktor, seperti kelaparan, wabah penyakit, tingginya angka kematian, maladministrasi, serta ketidakmampuan membayar pajak dan memenuhi berbagai kewajiban yang memberatkan. Selain itu, perpindahan penduduk disebabkan oleh pengerahan tenaga kerja untuk proyek-proyek pembangunan pada masa itu seperti pembangunan stasiun dan rel kereta api, bendungan, jalan raya, serta infrastruktur lainnya.
Wilayah Desa Penadaran yang pada masa tersebut diperkirakan masih berupa kawasan hutan menjadi pilihan sebagai tempat persembunyian sekaligus untuk melangsungkan kehidupan. Seiring waktu, permukiman terus berkembang hingga terbentuk sejumlah wilayah yang menjadi cikal bakal wilayah pedukuhan-pedukuhan di desa Penadaran yaitu dukuh Bantengan, Tempel, Sasak, Kedungkakap, dan Tegalrejo. Setiap wilayah pedukuhan tersebut memiliki asal-usul penamaan atau toponiminya masing-masing.
Dukuh Bantengan berasal dari kata “Banteng” dan dikisahkan bahwa dahulu terdapat seekor banteng yang mati dan dikubur di wilayah tersebut. Tempel berasal dari kata “Nempel” (menempel) dan dikisahklan bahwa diberi nama demikian karena wilayahnya yang menempel dengan gumuk atau bukit. Sasak berasal dari kata “sasak” dan dikisahkan bahwa dahulu di awal pembentukanya dilakukan dengan membuka hutan dengan cara menebas pohon dan semak-belukar yang diistilahkan dengan Sasak (bahasa Jawa Lokal). Kedungkakap berasal dari gabungan kata “kedung” dan “kakap” dan dikisahkan bahwa dahulu terdapat kedung yang terdapat ikan kakapnya. Tegalrejo merupakan pedukuhan terakhir yang terbentuk. Nama ini berasal dari kata “tegal” (ladang) dan “rejo” (ramai atau makmur) dikisahkan bahwa dahulu wilayah ini berupa ladang yang kemudian berkembang menjadi permukiman.
Sistem pemerintahan desa di Penadaran diperkirakan mulai terbentuk setelah tahun 1865 yakni pasca diberlakukannya Ordonnantie van den 10 September 1865, Staatsblad No. 96, yang mengatur dinas kehutanan (Boschwezen) di wilayah Jawa dan Madura. Ordonnantie ini menandai awal pembentukan sistem administrasi kehutanan kolonial yang bertujuan menetapkan batas-batas hutan negara dan wilayah desa di sekitarnya. Implementasi kebijakan tersebut diiringi oleh kegiatan pemetaan sistematis oleh Topographisch Bureau (Dinas Topografi) yang, pada tahun 1865–1866, telah menyelesaikan pengukuran dan penggambaran peta desa (dessa-kaart) di Afdeling Demak, termasuk wilayah Penadaran. Desa Penadaran kemungkinan besar terdokumentasi sebagai satuan administrasi desa sejak saat itu, sebagai bagian dari proyek kolonial untuk mengendalikan pemanfaatan lahan, pengelolaan sumber daya hutan jati, dan penertiban tata pemerintahan lokal.
Selanjutnya pemerintahan desa dikenal dengan sebutan Sarekat Desa yang terdiri atas kepala desa (lurah) dan para pembantunya. Struktur jabatan dalam pemerintahan desa dimasa tersebut mencakup beberapa posisi yaitu Lurah (Kepala desa yang memimpin jalannya pemerintahan desa) ; Carik (Juru tulis desa yang bertugas mencatat administrasi dan mengurus surat-menyurat) ; Kamituwo/Bekel ( Wakil lurah atau pejabat yang menggantikan lurah bila berhalangan) ; Kepetengan / Sentono) (Petugas keamanan desa yang berperan sebagai polisi desa) ; Kebayan (Pesuruh desa yang menjalankan tugas-tugas ringan serta mengantar pesan atau informasi) ; Modin (Tokoh agama desa atau ulama yang mengurusi urusan keagamaan dan kegiatan sosial keagamaan masyarakat.
Pada tahun 1928, Desa Penadaran secara administratif menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Grobogan yang sebelumnya termasuk dalam wilayah Kabupaten Demak. Perubahan administratif terjadi seiring dengan pengalihan dua distrik (kawedanan) dari Kabupaten Demak ke Kabupaten Grobogan yaitu Kawedanan Manggar yang beribu kota di Godong dan Kawedanan Singen Kidul yang beribu kota di Gubug.
Dalam catatan sejarah desa tercatat nama-nama kepala desa (Lurah) yang pernah memimpin Desa Penadaran sejak awal terbentuknya pemerintahan desa yaitu :
- Mbah Brenggas (sebelum 1900)
- Mbah Siwil (sebelum 1900)
- Mbah Hoenoes (sebelum 1900)
- Mbah Moekajat (sebelum 1900–1937)
- Mbah Sastro Sirat (1937–1939)
- Mbah Haroen (1939–1965)
- Mbah Prayitno [menjabat sebagai kamituwo, pelaksana tugas kepala desa] (1965–1967)
- Mbah Parjo (1967–1989)
- Mbah Mugiman (1989–1997)
- Mbah Suparmin (1998–2014)
- Mbah Siswanto (2014–2019)
- Bapak Sholehaturidlo,S.E.,M.H. (2019–sekarang)
Demikianlah tulisan berjudul "Sejarah dan Asal Usul Desa Penadaran. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi meskipun kecil dalam upaya memperkuat identitas lokal serta melestarikan warisan sejarah desa. Lebih dari itu, penulisan ini juga menjadi bagian dari praktik sejarah yang dinamis terbuka terhadap pembaruan data, penafsiran ulang, dan penyempurnaan di masa mendatang.
Diharapkan, generasi muda dan seluruh masyarakat desa dapat semakin mengenal akar sejarahnya sendiri, sehingga tumbuh rasa memiliki, kebanggaan, serta semangat untuk menjaga dan merawat nilai-nilai budaya yang diwariskan. Sejarah bukanlah sesuatu yang beku, melainkan ruang hidup yang terus bergerak, ditulis ulang, dan diwariskan lintas generasi.
Susanto
16 September 2025 10:58:31
Masaallah luar biasa tak sawang sawang kok ada ustd UJ ya apa masih krabat nya atau ponakan nya UJ...