Penadaran (23/08/2025) Desa Penadaran, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan memiliki tradisi budaya yang masih lestari hingga kini yakni Tayub Jumbangan. Tradisi ini merupakan bagian dari rangkaian Apitan Sedekah Bumi yang setiap tahun dilaksanakan pada bulan Apit atau Dulkaidah menurut penanggalan Jawa.
Bulan Apit sendiri menempati posisi istimewa karena berada di antara dua upacara besar keraton, yaitu Grebeg Syawal dan Grebeg Besar. Pada bulan tersebut, masyarakat dilarang menyelenggarakan pesta besar selain ritual adat sebagai wujud penghormatan tradisi.
Tayub Jumbangan merupakan pementasan kesenian tari tayub di salah satu Pundhen desa yang disakralkan warga yang disebut dengan Jumbangan. Jumbangan dipercaya sebagai lokasi bersemayamnya Dhanyang Desa, sosok spiritual penjaga keselamatan dan ketenteraman desa. Selain itu, Jumbangan juga diyakini sebagai titik tengah wilayah Desa Penadaran.
Dalam keseharian, warga sering menghaturkan sesaji di Jumbangan, misalnya ketika mengadakan hajatan pernikahan, sunatan, hingga puput puser. Di area ini juga terdapat tanah bengkok yang diperuntukkan bagi kepala desa. Apabila tidak digarap, diyakini dapat mendatangkan malapetaka bagi desa.
Prosesi Tayub Jumbangan dimulai pada siang hari menjelang waktu duhur. Pementasan dilaksanakan di bawah tenda bambu yang dihiasi blekepe, anyaman janur atau blarak. Seorang sesepuh bersama kepala desa dan perangkat terlebih dahulu menghaturkan sesaji, membakar kemenyan, dan menyampaikan doa.
Tarian dibawakan oleh ledhek (penari wanita) dan penayub (penari pria) yang berasal dari kepala desa serta perangkatnya. Ledhek akan memberikan selendang atau sampur kepada penari pria sebagai tanda ajakan menari. Sementara itu, warga menyaksikan prosesi dengan khidmat dari luar tenda.
Pementasan berlangsung sekitar satu jam. Selain menari, para ledhek juga melantunkan tiga gending wajib, yaitu Selamet, doa untuk keselamatan; Eling-eling, pengingat agar manusia selalu taat kepada Tuhan; serta Ijo-ijo, simbol doa kesuburan tanah dan kemakmuran masyarakat.
Masyarakat meyakini tradisi ini sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus penghormatan kepada bumi, Dhanyang Desa, dan para leluhur yang telah membuka serta menjaga desa. Bagi warga, tradisi ini juga menjadi doa agar panen melimpah dan kehidupan tetap tenteram.
Susanto
16 September 2025 10:58:31
Masaallah luar biasa tak sawang sawang kok ada ustd UJ ya apa masih krabat nya atau ponakan nya UJ...