Penadaran (23/08/2025) Tradisi Mubeng Omah menjadi salah satu prosesi penting dalam rangkaian Apitan Sedekah Bumi di Desa Penadaran, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan. Prosesi ini dilakukan setelah tradisi Nawu Sendang dan Tayub Jembangan, dengan mengelilingi rumah kepala desa sebanyak tiga kali putaran.
Tradisi dimulai dengan kepala desa mencangkul tanah sebanyak tiga kali di depan rumahnya, kemudian menyiram bekas cangkulan dengan air dari Sendang Sumber. Air tersebut sebelumnya diambil saat pelaksanaan Nawu Sendang. Pada momen itu, kepala desa juga memanjatkan doa, baik lisan maupun batin, agar warga desa senantiasa diberi keselamatan, kesejahteraan, dan kemakmuran.
Dengan iringan gendhing Kebogiro, kepala desa bersama perangkat desa mengelilingi rumah tanpa berbicara satu sama lain. Dalam prosesi ini, mereka membawa berbagai perlengkapan tradisional seperti kejen, pecut, kendi, pacul, sabit, hingga sapu sodo. Perlengkapan tersebut bukan sekadar atribut, melainkan sarat simbolisasi ajaran kepemimpinan Jawa.
Masyarakat Jawa dikenal dengan budaya agraris dan kaya akan simbol. Setiap perlengkapan dalam tradisi Mubeng Omah dimaknai sebagai pesan moral, khususnya bagi kepala desa dan perangkatnya sebagai pemimpin masyarakat. Misalnya, Kejen (mata bajak) melambangkan fokus pada satu tujuan serta kerendahan hati. Pecut (cambuk) menjadi simbol kemampuan pemimpin mengendalikan diri, tegas sekaligus lentur dalam menghadapi situasi.
Kendi melambangkan hati yang bersih sekaligus kemampuan menjaga dan mengelola sumber daya desa. Rakit dimaknai sebagai simbol kerja sama dan perekat sosial, sedangkan Dawet menjadi lambang kesuburan dan kesejahteraan yang harus dibagikan secara merata.
Perlengkapan lain seperti Sapu Sodo mengandung pesan pemimpin harus membersihkan persoalan masyarakat, Engkrak melambangkan kelapangan hati menampung kritik, Pacul menegaskan kerja keras dalam mengolah potensi desa, sementara Arit menandai ketegasan pemimpin dalam menolak segala bentuk keburukan sosial.
Melalui simbolisasi tersebut, Mubeng Omah bukan sekadar tradisi ritual, tetapi juga media pendidikan nilai bagi pemimpin desa agar senantiasa bijaksana, tegas, dan berpihak pada kesejahteraan rakyat. Tradisi ini sekaligus memperlihatkan bagaimana budaya Jawa mengajarkan kepemimpinan dengan bahasa simbol yang diwariskan lintas generasi.
Susanto
16 September 2025 10:58:31
Masaallah luar biasa tak sawang sawang kok ada ustd UJ ya apa masih krabat nya atau ponakan nya UJ...